get your own embeddable forum with Talki
KOMUNITAS DOU DONGGO
ARSIP
Selasa, 01 Februari 2011
Minggu, 30 Mei 2010
ASAL USUL MASYARAKAT BIMA (DOU MBOJO)
Masyarakat Bima yang sekarang kita kenal merupakan perpaduan dari berbagai suku, etnis dan budaya yang hampir menyebar di seluruh pelosok tanah air. Akan tetapi pembentukan masyarakat Bima yang lebih dominan adalah berasal dari imigrasi yang dilakukan oleh etnis di sekitar Bima. Karena beragamnya etnis dan budaya yang masuk di Bima, maka tak heran agama pun cukup beragam meskipun 90% lebih masyarakat Bima sekarang beragama Islam. Untuk itu, dalam pembahasan berikut akan kita lihat bagaimana keragaman masyarakat Bima tersebut, baik dilihat dari imigrasi secara etnis/budaya maupun secara agama/kepercayaan. Variasi Masyarakat Bima Berdasarkan Etnis/Budaya Orang Donggo Orang Donggo dikenal sebagai penduduk asli yang telah menghuni tanah Bima sejak lama. Mereka sebagian besar menempati wilayah pegunungan. Karena letaknya yang secara geografis di atas ketinggian rata-rata tanah Bima, Dou Donggo (sebutan bagi Orang Donggo dalam bahasa Bima), kehidupan mereka sangat jauh berbeda dengan kehidupan yang dijalani masyarakat Bima saat ini. Masyarakat Donggo mendiami sebagian besar wilayah Kecamatan Donggo sekarang, yang dikenal dengan nama Dou Donggo Di, sebagian lagi mendiami Kecamatan Wawo Tengah (Wawo pegunungan) seperti Teta, Tarlawi, Kuta, Sambori dan Kalodu Dou Donggo Ele. Pada awalnya, sebenarnya penduduk asli ini tidak semuanya mendiami wilayah pegunungan. Salah satu alasan mengapa mereka umumnya mendiami wilayah pegunungan adalah karena terdesak oleh pendatang-pendatang baru yang menyebarkan budaya dan agama yang baru pula, seperti agama Islam, Kristen dan bahkan Hindu/Budha. Hal ini dilakukan mengingat masih kuatnya kepercayaan dan pengabdian mereka pada adat dan budaya asli yang mereka anut jauh-jauh hari sebelum para pendatang tersebut datang. Kepercayaan asli nenek moyang mereka adalah kepercayaan terhadap Marafu (animisme). Kepercayaan terhadap Marafu inilah yang telah mempengaruhi segala pola kehidupan masyarakat, sehingga sangat sukar untuk ditinggalkan meskipun pada akhirnya seiring dengan makin gencarnya para penyiar agama Islam dan masuknya para misionaris Kristen menyebabkan mereka menerima agama-agama yang mereka anggap baru tersebut. Sebagaimana umumnya mata pencaharian masyarakat yang masih tergolong tradisional, mata pencaharian Dou Donggo pun terpaku pada berladang dan bertani. Sebelum mengenal cara bercocok tanam, mereka biasanya melakukan perladangan berpindah-pindah, dan karena itu tempat tinggal mereka pun selalu berpindah-pindah pula (nomaden). Berhadapan dengan kian gencarnya arus modernisasi, seiring itu pula pemahaman masyarakat akan kenyataan hidup berubah, terutama dalam hal pendidikan dan teknologi. Saat ini, telah sekian banyak para sarjana asli Donggo, yang umumnya menimba ilmu di luar daerah seperti Ujung Pandang, Mataram atau bahkan ke kota-kota di pulau Jawa seperti Bandung, Yogyakarta, Jakarta dan lain-lain. Demikian juga halnya dengan teknologi, yang akhirnya merubah pola hidup mereka seperti halnya dalam penggarapan sawah, kendaraan sampai alat-alat elektronik rumah tangga, karena hampir semua daerahnya telah dialiri listrik. Bahkan tak jarang mereka menjadi para penyiar agama seperti Da’i, karena telah begitu banyaknya mereka naik haji. Dou Mbojo (Orang Bima) Dou Mbojo yang dikenal sekarang awalnya merupakan para pendatang yang berasal dari daerah-daerah sekitarnya seperti Makassar, Bugis, dengan mendiami daerah-daerah pesisir Bima. Mereka umumnya berbaur dengan masyarakat asli dan bahkan menikahi wanita-wanitanya. Para pendatang ini dating pada sekitar abad XIV, baik yang datang karena faktor ekonomi seperti berdagang maupun untuk menyiarkan agama sebagai mubaliqh. Mata pencaharian mereka cukup berfariasi seperti halnya bertani, berdagang, nelayan/pelaut dan sebagian lagi sebagai pejabat dan pegawai pemerintah. Karena pada awalanya mereka adalah pendatang, pada beberapa generasi kemudian banyak juga yang merantau ke luar daerah untuk berbagai keperluan dan profesi seperti sebagai pegawai daerah, sekolah/kuliah, menjadi polisi/tentara, pedagang dan lain-lain. Umumnya mereka memiliki sifat ulet, mudah menyesuaikan diri dengan orang lain dan bahkan kasar. Hingga kini, beberapa daerah di Bima mewarisi sifat-sifat kasar ini seperti beberapa daerah (desa) di Kecamatan Sape, Wera dan Belo. Orang Arab dan Melayu Orang Melayu umumnya berasal dari Minangkabau dan daerah-daerah lain di Sumatera, baik sebagai pedagang maupun sebagai mubaliqh. Jumlah mereka termasuk minoritas, yang pada awalnya menempati daerah Bima pesisir Teluk Bima, Kampung Melayu dan Benteng. Terdorong oleh arus mobilitas penduduk yang cukup cepat, sekarang sebagian besar mereka telah membaur ke wilayah-wilayah pedalaman bersama masyarakat Bima lainnya. Orang Arab pun datang ke Bima sebagai pedagang dan mubaliqh. Awal kedatangan orang Arab umumnya sangat tertekan karena harus berhadapan dengan masyarakat Bima yang sudah cukup variatif. Mereka dianggap sebagai pendatang dari Arab, sebagai turunan Nabi. Akan tetapi, sekarang mereka telah diterima secara umum dan wajar, serta telah berbaur dengan masyarakat. Bahkan seiring dengan kuatnya pengaruh Islam melalui Hadirnya Kesultanan Bima, termasuk orang Melayu, sering dianggap istimewa karena biasanya pada masa Kesultanan Bima mereka diangkat sebagai Da’I dan pejabat hadat di seluruh pelosok tanah Bima. Pendatang Lainnya Para pendatang ini datang dengan latar belakang yang beragam, dengan menduduki berbagai profesi baik sebagai pejabat pemerintah, polisi/tentara, pedagang/pengusaha. Mereka datang dari Jawa, Madura, Ambon, Flores, Timor-Timur, Banjar, Bugis, Bali, Lombok yang kemudian membaur dan menikah dengan masyarakat Bima asli maupun dengan para pendatang lain. Orang Cina tak ketinggalan memiliki peran di Bima, yang umumnya berprofesi sebagai pedagang. Dari segi jumlah, orang Cina memang tergolong kecil namun karena mereka sangat gigih dan ulet, peran mereka dalam perekonomian Bima sangat signifikan. Variasi Masyarakat Bima Berdasarkan Agama Kepercayaan Makakamba - Makakimbi Kepercayaan ini merupakan kepercayaan asli penduduk Dou Mbojo. Sebagai media penghubung manusia dengan alam lain dalam kepercayaan ini, diangkatlah seorang pemimpin yang dikenal dengan nama Ncuhi Ro Naka. Mereka percaya bahwa ada kekuatan yang mengatur segala kehidupan di alam ini, yang kemudian mereka sebut sebagai “Marafu”. Sebagai penguasa alam, Marafu dipercaya menguasai dan menduduki semua tempat seperti gunung, pohon rindang, batu besar, mata air, tempat-tempat-tempat dan barang-barang yang dianggap gaib atau bahkan matahari. Karena itu, mereka sering meminta manfaat terhadap benda-benda atau tempat-tempat tersebut. Selain itu, mereka juga percaya bahwa arwah para leluhur yang telah meninggal terutama arwah orang-orang yang mereka hormati selama hidup seperti Ncuhi, masih memiliki peran dan menguasai kehidupan dan keseharian mereka. Mereka percaya, arwah-arwah tersebut tinggal bersama Marafu di tempat-tempat tertentu yang dianggap gaib. Masyarakat asli juga memiliki tradisi melalui ritual untuk menghormati arwah leluhur, dengan mengadakan upacara pemujaan pada saat-saat tertentu. Upacara tersebut disertai persembahan sesajen dan korban hewan ternak yang dipimpin oleh Ncuhi. Tempat-tempat pemujaan tersebut biasa dikenal dengan nama “Parafu Ra Pamboro”. Agama Hindu Sampai saat ini belum ada ilmuwan/sejarawan yang mengetahui secara pasti kapan agama Hindu memasuki tanah Bima. Dari sekian petunjuk peninggalan sejarah yang berupa prasasti maupun berbentuk monumen seperti prasasti Wadu Pa’a yang dipahat Sang Bima saat mengembara ke arah timur pada sekitar pertengahan abad VIII, bekas candi di Ncandi Monggo, prasasti Wadu Tunti di Rasabou Donggo, kuburan kuno Padende dan Sanggu di Pulau Sangiang, tidak meninggalkan informasi yang jelas tentang masuknya agama Hindu. Pengaruh agama Hindu dari Bali dan Lombok yang cukup besar tidak mampu menembus wilayah Bima, dan hanya bertahan di wilayah Dompu dan sebagian daerah Bolo. Agama Kristen Secara umum, Dou Mbojo tidak senang dengan kedatangan agama ini. Agama Kristen dianggap sebagai agama orang luar yang sangat berbeda dengan kenyataan hidup dan budaya mereka. Meskipun agama Kristen kurang mendapat angin segar dari Dou Mbojo, namun agama ini berhasil menyebar dan dianut oleh masyarakat pendatang lainnya seperti pendatang dari Timur, anggota polisi/tentara, serta pendatang dari Jawa dan Manado, yang awalnya mendiami daerah-daerah pesisir Bima dan kemudian sebagian kecil lagi memasuki daerah-daerah pedalaman. Akhir-akhir ini, tampaknya kegagalan sejarah tersebutlah yang kemudian memotivasi kembali kaum misionaris untuk melancarkan misinya ke daerah-daerah pelosok dan kepada masyarakat yang mendiami wilayah pegunungan dan tergolong terbelakang, melalui apa yang dikenal dengan program “Plan”. Namun, lagi-lagi misi ini bukan tak ada hambatan, karena kemudian Majelis Ulama Indonesia NTB melarang keberadaan mereka dengan segala aktivitasnya. Agama Islam Ada dua alasan utama kenapa agama Islam dapat lebih mudah diterima di Bima. Pertama, jauh-jauh waktu sebelum diberlakukannya secara resmi sebagai agama kerajaan, masyarakat Bima sudah lebih dulu mengenal agama Islam melalui para penyiar agama dari tanah Jawa, Melayu bahkan dari para pedagang Gujarat dari India dan Arab di Sape pada tahun 1609 M, yang awalnya dianut oleh masyarakat pesisir. Kedua, tentu saja peran yang penting adalah peralihan dari masa kerajaan kepada masa kesultanan yang kemudian secara resmi menjadikan agama Islam sebagai agama yang umum dianut oleh masyarakat Bima. Letak Bima yang strategis sangat mendukung sebagai jalur perdagangan antar daerah bahkan sebagai jalur transportasi perdagangan laut internasional, yang didukung dengan keberadaan Pelabuhan Sape. Sebagai sultan pertama, diangkatlah Sultan Abdul Kahir pada tanggal 5 Juli 1620 M. Kehadiran sultan pertama ini memiliki pengaruh yang besar dan luas sehingga penyebaran agama Islam begitu cepat di seluruh pelosok tanah Bima, kecuali di daerah-daerah tertentu seperti di Donggo yang masih bertahan pada kepercayaan nenek moyang. Selain Donggo, Wawo juga termasuk sebagian daerahnya masih bertahan pada kepercayaan nenek moyang. Akan tetapi pada beberapa generasi berikutnya mereka mulai menerima Islam, karena makin sulitnya arus komunikasi terbatas internal yang mereka lakukan sesamanya serta makin meluasnya arus komunikasi masyarakat yang beragama Islam. Sekarang, bahkan di daerah-daerah yang dulu memegang kuat adat nenek moyang, hampir tidak dapat dibedakan antara Islam dengan budaya setempat. Dalam kehidupan yang demikian Islami tersebut, muncul satu ikrar setia pada Islam dalam bentuk ikrar yang berbunyi “Mori ro made na Dou Mbojo ede kai hukum Islam-ku” yang berarti “Hidup dan matinya orang Bima harus dengan hukum Islam”. Untuk menguatkan ikrar ini, bahkan sejak masa kesultanan telah dibentuk sebuah majelis yang dikenal dengan Hadat Tanah Bima, yang bertugas dan bertanggung jawab selain sebagai sarana penyiaran dan penyebaran Islam juga sebagai penentu segala kebijakan kesultanan yang berdasarkan Islam dan kitabnya. Penyebaran yang demikian pesat ini juga diiringi dengan berkembangnya berbagai pusat pendidikan dan pengajaran Islam, serta masjid-masjid selalu menghiasi di setiap desa dan kampung tanah Bima. Pusat-pusat pengajaran Islam tidak hanya berkembang melalui pesantren, bahkan berkembang dari rumah ke rumah, terbukti dengan menjamurnya tempat pengajian di rumah-rumah yang menggema dan melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran di setiap sore dan malam hari. Pada masa kesultanan juga diperlakukan aturan yang bersendikan hukum Islam dengan mendirikan Badan Hukum Syara atau Mahkamah Tussara’iyah, yang mengirim pemuda-pemuda Bima untuk belajar memperdalam kaidah dan pengetahuan Islam ke Mekkah, Mesir, Istamul dan Bagdad serta negara-negara Arab lainnya. Bahkan telah diusahakan tanah wakaf di Mekkah untuk menjamu jamaah calon haji Dou Mbojo yang selalu membanjir setiap tahunnya untuk menunaikan ibadah haji. Demikian dua model variasi masyarakat Bima yang kita lihat dan kenal sekarang. Meski demikian, pada perkembangan-perkembangan terakhir sebagaimana kenyataan yang dihadapi masyarakat Indonesia umumnya dengan semakin cepatnya arus modernisasi, kenyataan tersebut secara perlahan mengalami perubahan. Berbagai perubahan tersebut semakin memberi warna, baik putih maupun hitam, dalam beragam kehidupan dan keseharian masyarakat Bima. Sebagai penutup, yang kita harapkan bersama semoga masyarakat Bima tetap memegang teguh pada nilai-nilai kearifan yang sudah tertanam sejak nenek moyang mereka, dan benar-benar menghayati serta mengamalkan petuah “Maja Labo Dahu, Nggahi Rawi Pahu” dan petuah-petuah lainnya kapan dan di manapun mereka berada. *(dari berbagai sumber). Oleh : Zainudin Kandidat Magister pada Ilmu Politik UGM Yogyakarta Kelahiran Ncera, Bima, NTB www.bimacenter.com
Kepercayaan Dou Donggo
Sulit sekali untuk memahami keyakinan orang Donggo (Bima), karena mereka begitu tertutup untuk memberi penjelasan mengenai apa yang mereka yakini. Hal ini tentu disebabkan karena banyak peristiwa agama telah berusaha untuk menanamkan pengaruhnya, terutama peristiwa 1969, peristiwa 1974, peritiwa 1979, belum lagi peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Belanda. Tulisan-tulisan tentang keyakinan orang Donggo tidak cukup jelas, bahkan kadang-kadang tidak sesuai dengan apa yang mereka katakan. Misalnya J. Elbert (1912: hlm. 69) mencatat bahwa yang menjadi ncuhi hanya dari keturunan duna (belut), sedang P. Arndt (1952) mencatat bahwa dou deke (tokok) yang berhak menjadi ncuhi. Baik Elbert dan Arndt mencatat bahwa pada masa itu hanya terdapat 5 buah klen patrilineal yang exogam, sedang masyarakat sekarang mengenal lebih dari 13 buah klen. Jadi walaupun merek seolah-olah tidak berkembang dan tidak menjalankan kepercayaannya lagi, secara perlahan dan pasti mereka mengembangkan diri dengan klen winte yang menjadi pemimpin masyarakat.
Menurut orang Donggo, peradaban manusia dibagi ke dalam tiga zaman: zaman anfari (zaman manusia terbang), zaman moda (zaman manusia hilang) dan zaman made (zaman manusia mati). Nenek moyang mereka hidup dalam zaman moda, dan jenazah mereka tidak ada karena mereka tidak meninggal tetapi menghilang. Zaman sekarang merupakan zaman made, karena manusia meninggal dan jenazahnya dikubur.
Orang Donggo menjunjung tinggi lewa (atau dewa), yaitu kekuatan gaib yang ada di alam, seperti di gunung, di laut, di sungai, di langit dan di batu-batu besar. Selain itu mereka menghormati ruh nenek-moyang (ndoi) yang diyakini moyangnya ini tidak ada karena hilang di tempat-tempat tertentu atau berubah menjadi binatang dan benda-benda lainnya. Tem[at dan benda-benda tersebut dikeramatkan dan mereka menganggap dirinya keturunannya. Benda-benda totemnya ini disebut marafu arau rafi. Marafu-lah yang memelihara dan menjadi manusia dari pengaruh tidak baik. Apabila seseorang sakit, maka ia pergi ke rafu-nya untuk memohon pada ndoi agar ia cepat disembuhkan dari penyakit dan dijauhkan dari hal-hal yang tidak baik. Ndoi kedudukannya sebagai perantara pada dewa, oleh karena itu semua permohonan ditujukan kepada ndoinya agar disampaikan pada dewa.
Rafu dan ndoi dibedakan atas laki dan perempuan. Rafu Sa’do laki ndoi-nya Tutarasa, dan Sa’do wanita ndoi-nya Roho. Meskipun demikian tidak semua rafu mempunyai ndoi, tetapi mereka tetap mempunyai ruh pelindung (ruh nenek-moyang) yang disebut ina ro wai (ibu dan nenek). Ama ro ompu (bapak dan kakek), misalnya, tidak mempunyai ndoi, tetapi mempunyai ina ro wai. Hal ini disebabakan ada ndoi yang tidak diketahui ke mana menghilangnya dan ada beberapa rafu yang datang dari Sumba, Flores, Ambon dan Latu. Nama-nama ndoi yang dikenal adalah Roho (mata air di gunung), Tuturasa (pohon besar di muka kampung), Ncuhi (di rumah adat), Lancoini (mata air di sungai), ka’dalu (batu besar dan datar di gunung), Tifamone, Tifasiwe, Pahawoha (di tengah kampung), Sorajara, Tutanawa dan Panintarwela (rumah-rumah yang ada di bagian belakang kampung dekat dengan kuburan), Mbotobua (pohon besar dekat sungai), Kariadewa (di kaki Gunung Pejambi) dan Ketorasa (pohon besar di tengah kampung). Ndoi Mbotobua kurang dikenal sehingga jarang disebut-sebut. Dalam doa-doa mereka, mereka mengatakan “ndoi yang dua belas”, yaitu ndoi (tanpa mbotobua dan tidak membedakan Tifa, laki-laki atau perempuan).
Elbert (1912) dan Arndt (1954) mencatat bahwa dewa yang tertinggi dan ditakuti adalah Lewa langi (dewa langit) yang tinggal di matahari. Sedang dalam doa-doa mereka yang sempat dicatat, mereka tidak menyebutkan dewa langit lagi, tetapi Ruma su’u (raja atau Tuhan yang dijunjung), Ruma ta’ala make se wara (Tuhan yang ada/satu), Ruma ndai (Tuhan kita). Hal ini disebabkan masuknya pengaruh luar sehingga mereka mencampuradukkan ide ndoi ndala, dewa ra’e, nabi Muhammad, nabi Isa serta nabi Adam.
Dalam konsep orang Donggo, ruh orang mati akan kembali ke langit melalui beberapa tahapan. Setelah 100 hari meninggal ia pergi ke Wadukajuji untuk bermain batu (sejenis catur dengan batu), lalu ke Oi Nduku (mata air) untuk minum-minum. Dari Oi Nduku ia melihat kembali ke desa asalnya di Mbari Rihu setelah itu ke Wadunaikai (batu besar di puncak gunung). Sebelum kembali ke langit ia mandi-mandi di danau Ra’ba Lore. Mereka yang ditinggalkan sering mengantar sampai Wadunaikai, dan di sana mereka menangis, mengenang orang yang telah tiada. Prosesi ini masih sering dilakukan sampai sekarang, baik oleh mereka yang telah beragama Islam Kristen/Katolik.
Upacara yang terpenting bagi masyarakat Donggo adalah upacara kasaro dengan pesta raju (anjing hutan). Upacara ini diadakan untuk memohon hujan, air yang banyak, hasil pertanian yang baik, dan “menaikkan” ulat agar tidak mengganggu ladang dan sawahnya. Jalannya upacara dipimpin oleh ncuhi. Pagi hari dipukul wuni (gendang) agar warga desa berkumpul di halaman ncuhi. Setelah itu mereka pergi berburu ke hutan dari pagi hingga sore hari. Hal ini berlangsung selama 3 hari berturut-turut. Lamanya berburu tidak sama tiap tahun; bila tahun ini 3 hari, maka tahun berikutnya 5 hari dan tahun kemudian 7 hari. Setelah 7 hari, lamanya maka berburu kembali lagi selama 5 hari lalu 3 hari, demikian seterusnya. Pada saat-saat seperti itu tidak ada orang luar yang boleh pergi ke kampung, dan seluruh desa diberi pagar. Wanita dan anak-anak tidak ada yang tinggal di dalam rumah, tetapi pergi menganyam tikar di kali, karena pada saat itu udara panas sekali. Hanya kaum pria yang pergi, untuk berburu babi hutan atau rusa. Hasil perburuan dibawa ke kampung dan dimasak bersama, sedang kepalanya dibawa ke Ka’dalu (batu besar di puncak gunung) untuk dipersembahkan kepada dewa langit, sebelum mereka makan bersama. Selesai upacara, mereka menunggu “hasil”-nya, yaitu hujan, dan ncuhi menetapkan kapan mereka mulai tanam padi dan kedelai. Doa yang diucapkan dalam upacara kasaro ditujukan agar padi, jagung dan kedelai yang ditanam jangan dikurangi jumlahnya tetapi ditambah, karena hasil panen tersebut akan diberikan kepada yang bekerja dan untuk makan warga kampung.
Selain itu mereka mengadakan upacara doa rasa (doa kampung) yang diadakan setiap 5 tahun sekali agar warga desa dijauhkan dari segala macam penyakit dan malapetaka. Upacara ini ditujukan kepada dewa ra’e, yaitu dewa yang selalu membawa petaka. Paki oha (sedekah nasi) diletakkan di luar kampung, agar dewa ra’e tidak masuk ke kampung.
Upacara-upacara yang sehubungan dengan lingkarang hidup juga dikenal oleh orang Donggo, tetapi kurang banyak mengandung unsur keagamaan, seperti halnya upacara untuk pertanian dan mengusir wabah serta upacara untuk membuat rumah. Upacara perkawinan adalah salah satu upacara yang paling meriah dalam rangkaian upacara lingkaran hidup.
Selain upacara yang diadakan secara seremonial, mereka juga mengadakan upacara yang sifatnya individu kekeluargaan, misalnya doa untuk menghormati ndoi-nya, baik yang ada di tempat-tempat tertentu, atau untuk ndoi putanawa dan sorajaya yang melindungi suatu rumah tangga. Tujuan dari upacara ini meminta pada ndoi putanawa dan sorajara agar diberi keselamatan, kesejahteraan, kesehatan dan kenyamanan dalam rumah tangga tersebut.
Upacara lain yang dilakukan secara individu adalah upacara yang berkaitan dengan panen. Sebelum panen mereka meletakkan sesaji di pinggir ladang atau sawah dan mohon kepada dewa ra’e serta makhluk jahat seperti setan untuk tidak mengganggu padi, kedelai dan jagungnya dan agar mereka kembali ke tempat asalnya di hutan dan jangan kembali ke ladang atau sawah, cukup sampai di pinggir pagar atau di tepi sawah-ladangnya tempat mereka meletakkan sesaji tersebut. Upacara ini juga dilakukan ketika adakan turun ke sawah atau ladang dengan doa yang sama dan sesaji yang sama pula.
Tampak di sini bahwa masyarakat Donggo lebih mengutamakan hal-hal yang berhubungan dengan pertanian daripada lingkaran hidup. Hal ini disebabkan alamnya yang keras dengan musim panas yang amat panjang serta sulit air, sehingga mereka menjadi pekerja yang rajin, yang selalu berpacu dengan waktu.
Referensi
Koentjaraningrat, dkk. 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Menurut orang Donggo, peradaban manusia dibagi ke dalam tiga zaman: zaman anfari (zaman manusia terbang), zaman moda (zaman manusia hilang) dan zaman made (zaman manusia mati). Nenek moyang mereka hidup dalam zaman moda, dan jenazah mereka tidak ada karena mereka tidak meninggal tetapi menghilang. Zaman sekarang merupakan zaman made, karena manusia meninggal dan jenazahnya dikubur.
Orang Donggo menjunjung tinggi lewa (atau dewa), yaitu kekuatan gaib yang ada di alam, seperti di gunung, di laut, di sungai, di langit dan di batu-batu besar. Selain itu mereka menghormati ruh nenek-moyang (ndoi) yang diyakini moyangnya ini tidak ada karena hilang di tempat-tempat tertentu atau berubah menjadi binatang dan benda-benda lainnya. Tem[at dan benda-benda tersebut dikeramatkan dan mereka menganggap dirinya keturunannya. Benda-benda totemnya ini disebut marafu arau rafi. Marafu-lah yang memelihara dan menjadi manusia dari pengaruh tidak baik. Apabila seseorang sakit, maka ia pergi ke rafu-nya untuk memohon pada ndoi agar ia cepat disembuhkan dari penyakit dan dijauhkan dari hal-hal yang tidak baik. Ndoi kedudukannya sebagai perantara pada dewa, oleh karena itu semua permohonan ditujukan kepada ndoinya agar disampaikan pada dewa.
Rafu dan ndoi dibedakan atas laki dan perempuan. Rafu Sa’do laki ndoi-nya Tutarasa, dan Sa’do wanita ndoi-nya Roho. Meskipun demikian tidak semua rafu mempunyai ndoi, tetapi mereka tetap mempunyai ruh pelindung (ruh nenek-moyang) yang disebut ina ro wai (ibu dan nenek). Ama ro ompu (bapak dan kakek), misalnya, tidak mempunyai ndoi, tetapi mempunyai ina ro wai. Hal ini disebabakan ada ndoi yang tidak diketahui ke mana menghilangnya dan ada beberapa rafu yang datang dari Sumba, Flores, Ambon dan Latu. Nama-nama ndoi yang dikenal adalah Roho (mata air di gunung), Tuturasa (pohon besar di muka kampung), Ncuhi (di rumah adat), Lancoini (mata air di sungai), ka’dalu (batu besar dan datar di gunung), Tifamone, Tifasiwe, Pahawoha (di tengah kampung), Sorajara, Tutanawa dan Panintarwela (rumah-rumah yang ada di bagian belakang kampung dekat dengan kuburan), Mbotobua (pohon besar dekat sungai), Kariadewa (di kaki Gunung Pejambi) dan Ketorasa (pohon besar di tengah kampung). Ndoi Mbotobua kurang dikenal sehingga jarang disebut-sebut. Dalam doa-doa mereka, mereka mengatakan “ndoi yang dua belas”, yaitu ndoi (tanpa mbotobua dan tidak membedakan Tifa, laki-laki atau perempuan).
Elbert (1912) dan Arndt (1954) mencatat bahwa dewa yang tertinggi dan ditakuti adalah Lewa langi (dewa langit) yang tinggal di matahari. Sedang dalam doa-doa mereka yang sempat dicatat, mereka tidak menyebutkan dewa langit lagi, tetapi Ruma su’u (raja atau Tuhan yang dijunjung), Ruma ta’ala make se wara (Tuhan yang ada/satu), Ruma ndai (Tuhan kita). Hal ini disebabkan masuknya pengaruh luar sehingga mereka mencampuradukkan ide ndoi ndala, dewa ra’e, nabi Muhammad, nabi Isa serta nabi Adam.
Dalam konsep orang Donggo, ruh orang mati akan kembali ke langit melalui beberapa tahapan. Setelah 100 hari meninggal ia pergi ke Wadukajuji untuk bermain batu (sejenis catur dengan batu), lalu ke Oi Nduku (mata air) untuk minum-minum. Dari Oi Nduku ia melihat kembali ke desa asalnya di Mbari Rihu setelah itu ke Wadunaikai (batu besar di puncak gunung). Sebelum kembali ke langit ia mandi-mandi di danau Ra’ba Lore. Mereka yang ditinggalkan sering mengantar sampai Wadunaikai, dan di sana mereka menangis, mengenang orang yang telah tiada. Prosesi ini masih sering dilakukan sampai sekarang, baik oleh mereka yang telah beragama Islam Kristen/Katolik.
Upacara yang terpenting bagi masyarakat Donggo adalah upacara kasaro dengan pesta raju (anjing hutan). Upacara ini diadakan untuk memohon hujan, air yang banyak, hasil pertanian yang baik, dan “menaikkan” ulat agar tidak mengganggu ladang dan sawahnya. Jalannya upacara dipimpin oleh ncuhi. Pagi hari dipukul wuni (gendang) agar warga desa berkumpul di halaman ncuhi. Setelah itu mereka pergi berburu ke hutan dari pagi hingga sore hari. Hal ini berlangsung selama 3 hari berturut-turut. Lamanya berburu tidak sama tiap tahun; bila tahun ini 3 hari, maka tahun berikutnya 5 hari dan tahun kemudian 7 hari. Setelah 7 hari, lamanya maka berburu kembali lagi selama 5 hari lalu 3 hari, demikian seterusnya. Pada saat-saat seperti itu tidak ada orang luar yang boleh pergi ke kampung, dan seluruh desa diberi pagar. Wanita dan anak-anak tidak ada yang tinggal di dalam rumah, tetapi pergi menganyam tikar di kali, karena pada saat itu udara panas sekali. Hanya kaum pria yang pergi, untuk berburu babi hutan atau rusa. Hasil perburuan dibawa ke kampung dan dimasak bersama, sedang kepalanya dibawa ke Ka’dalu (batu besar di puncak gunung) untuk dipersembahkan kepada dewa langit, sebelum mereka makan bersama. Selesai upacara, mereka menunggu “hasil”-nya, yaitu hujan, dan ncuhi menetapkan kapan mereka mulai tanam padi dan kedelai. Doa yang diucapkan dalam upacara kasaro ditujukan agar padi, jagung dan kedelai yang ditanam jangan dikurangi jumlahnya tetapi ditambah, karena hasil panen tersebut akan diberikan kepada yang bekerja dan untuk makan warga kampung.
Selain itu mereka mengadakan upacara doa rasa (doa kampung) yang diadakan setiap 5 tahun sekali agar warga desa dijauhkan dari segala macam penyakit dan malapetaka. Upacara ini ditujukan kepada dewa ra’e, yaitu dewa yang selalu membawa petaka. Paki oha (sedekah nasi) diletakkan di luar kampung, agar dewa ra’e tidak masuk ke kampung.
Upacara-upacara yang sehubungan dengan lingkarang hidup juga dikenal oleh orang Donggo, tetapi kurang banyak mengandung unsur keagamaan, seperti halnya upacara untuk pertanian dan mengusir wabah serta upacara untuk membuat rumah. Upacara perkawinan adalah salah satu upacara yang paling meriah dalam rangkaian upacara lingkaran hidup.
Selain upacara yang diadakan secara seremonial, mereka juga mengadakan upacara yang sifatnya individu kekeluargaan, misalnya doa untuk menghormati ndoi-nya, baik yang ada di tempat-tempat tertentu, atau untuk ndoi putanawa dan sorajaya yang melindungi suatu rumah tangga. Tujuan dari upacara ini meminta pada ndoi putanawa dan sorajara agar diberi keselamatan, kesejahteraan, kesehatan dan kenyamanan dalam rumah tangga tersebut.
Upacara lain yang dilakukan secara individu adalah upacara yang berkaitan dengan panen. Sebelum panen mereka meletakkan sesaji di pinggir ladang atau sawah dan mohon kepada dewa ra’e serta makhluk jahat seperti setan untuk tidak mengganggu padi, kedelai dan jagungnya dan agar mereka kembali ke tempat asalnya di hutan dan jangan kembali ke ladang atau sawah, cukup sampai di pinggir pagar atau di tepi sawah-ladangnya tempat mereka meletakkan sesaji tersebut. Upacara ini juga dilakukan ketika adakan turun ke sawah atau ladang dengan doa yang sama dan sesaji yang sama pula.
Tampak di sini bahwa masyarakat Donggo lebih mengutamakan hal-hal yang berhubungan dengan pertanian daripada lingkaran hidup. Hal ini disebabkan alamnya yang keras dengan musim panas yang amat panjang serta sulit air, sehingga mereka menjadi pekerja yang rajin, yang selalu berpacu dengan waktu.
Referensi
Koentjaraningrat, dkk. 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Langganan:
Postingan (Atom)